Langsung ke konten utama

2013 telah lewat, ukiran pengalaman tercatat

Rayuan Pantai di Banten Selatan Pada bulan Maret 2013 lalu, Kepala Kantor tempatku bekerja mengajak beberapa staf untuk menghadiri acara amal di kabupaten Lebak bagian selatan yaitu di kecamatan Bayah. Semua staf sebenarnya diajak ikut serta tetapi hanya 3 orang yang akhirnya berangkat ke sana. Pimpinanku, Ibu Ovy, pak Nondi, aku, dan mas Pian sebagai sopir kantor.Kami berangkat dari kota Serang menuju ujung selatan provinsi Banten. Sebenarnya, tujuan utama perjalanan itu adalah menghadiri sebuah acara pemberian bantuan buku untuk taman bacaan masyarakat setempat. Sekali dayung dua tiga pulau terlampaui. Aku dan tiga rekan kantor ingin tahu letak pantai Sawarna. Pantai yang membuat kami penasaran, saya sering mendengar dari teman-teman yang telah mengunjungi pantai Sawarna. Kabar yang saya dengar, pantai itu masih perawan dan sangat indah. Pantai yang terletak di Banten Selatan itu sering dikunjungi oleh wisatawan domestik dan mancanegara. Rasa ingin tahu itulah yang membuatku mau untuk berpayah-payah menempuh perjalanan selama 6 jam. Perjalanan dimulai pada pukul 07.00 WIB agar kami tidak kemalaman di jalan karena letak kecamatan Bayah yang sangat jauh. Pukul 09.00 WIB, kami sampai di Rangkasbitung, pusat kota kabupaten Lebak. Yang unik dari perjalanan kami, lokasi pantai Sawarna yang merupakan bagian dari kabupaten Lebak tapi untuk menuju ke sana kami melewati daerah kabupaten Pandeglang yang sangat luas. Berdasarkan informasi yang kami peroleh sebelum berangkat, kami harus melalui daerah bernama gunung kencana. Gunung Kencana, kami memilih melewati daerah tersebut karena jalanan tidak rusak. Kawasan gunung kencana sendiri mengundang decak kagum bagi kami karena tampak pemandangan perkebunan karet. Rasanya seperti melewati berada di daerah sumatra atau kalimantan. Terlihat, penduduk di sini masih bercocok tanam dengan berladang di hutan. Ada bekas pembakaran hutan di sisi hutan yang lain. Hanya beberapa kilometer dari kota Serang.Berpuluh kilometer saja dari Jakarta. Namun, kami menyaksikan dusun-dusun yang sangat tertinggal. Sekolah didirikan dengan bangunan kayu sederhana. Seperti berada di kawasan transmigrasi luar Jawa. Sejauh mata memandang tampak perkebunan sawit di sisi kiri dan kanan jalan. Jalan yang kami lalui tidaklah mulus. Naik turun bukit. Matahari hangat menyapa kala itu. Menyapa anak-anak kecil yang berangkat sekolah tanpa alas kaki. Kami bertanya-tanya dalam hati, apakah yang mereka lalui saat meniti jalan ke sekolah. Telapak kaki kecil mereka rela berkorban melewati aspal yang panas daripada merusakkan sepatu yang mereka pakai. Tak terasa perjalanan selama 5 jam dilalui. Pemandangan bukit dan sawah mewarnai pandangan mata yang membuat pikiran tenang. Yang mengganggu dalam perjalanan ini hanyalah kondisi jalan yang berlubang dan bergelombang. Ah sayang sekali memang, jalan ke arah jajaran pantai di Banten Selatan kurang diperhatikan oleh pemimpin daerah di Kabupaten Lebak. Padahal seandainya didukung dengan infrastruktur yang menunjang, pantai-pantai yang kami lalui dari Malingping hingga ke kawasan pantai Sawarna memiliki garis pantai yang memukau mata dan masih alami. Pantai-pantai elok rupawan terpajang di hadapan mata membuat saya tak henti-hentinya berucap subhanallah. Jalan yang kami lalui berkelok-kelok dan di setiap kelokannya terlihat laut lepas Samudera Hindia. Laut berwarna biru muda itu membuat pikiran menjadi terbuai, terbuai oleh angin sepoi-sepoi yang masuk melalui celah jendela mobil yang sengaja dibuka. Hal menarik yang saya amati adalah letak jalan menuju pantai Sawarna yang sangat pas untuk menyaksikan pemandangan yang spektakuler. Jika aku menoleh ke arah kanan, aku melihat pantai yang indah dengan pohon kelapa dan tempat peristirahatannya. Masih belum banyak pembangunan di pinggir pantai, jadi saya bisa melihat pantai berair jernih itu meskipun di dalam mobil. Sebaliknya, jika kumenoleh ke arah kiri, kunikmati pemandangan sawah terasering yang telah menguning siap dipanen. Aku berpikir sejenak, keajaiban Tuhan mana yang bisa aku dustakan. Jika berpikir secara logika, sawah tidak akan tumbuh dengan subur karena lokasinya dekat dengan pantai. Airnya pasti asin. Namun, kenyataan yang tersaji di depan mata, membuatku terkagum-kagum. Sawah menguning itu benar-benar subur. Hamparan sawah benar-benar luas. Keberadaan sawah dan pantai hanya dibatasi oleh jalan beraspal yang dilalui oleh mobil yang kutumpangi. Mata seperti enggan berkedip dan kamera langsung membidik objek yang menarik hati. Pantai-pantai ini tak bernama. Paling tidak, aku tidak melihat ada plang yang menamai pantai ayu di Banten Selatan ini. Kami tidak mampir karena ada tujuan lain yang lebih penting, acara kami membagikan buku dan pantai Sawarna. Pantai yang membius kami hingga jauh-jauh menempuh perjalanan selama 6 jam. Saya berpikir mengalami de javu karena pemandangan seperti ini pernah aku alami saat naik bis dari pelabuhan Gilimanuk menuju Denpasar. Tidak hanya Bali dan Lombok saja yang indah wahai warga dunia, menolehlah ke Banten Selatan, simpulku dalam hati. Ada jembatan yang membatasi jalan dengan laut, terasa seperti berada di pantai Senggigi, Lombok. Tak terasa, kami sudah sampai di SMAN 1 Bayah untuk membagikan buku ke taman baca masyarakat di sekitar Bayah. Selepas acara selesai, kita tak melewatkan kesempatan untuk pergi ke kawasan pantai Sawarna. Dari sekolah itu, jarak hanya setengah jam perjalanan. Waktu sudah menunjukkan pukul empat sore, kami semakin ingin sampai pantai Sawarna. Sawarna, here I come. Semakin mendekati pantai Sawarna, pantai –pantai yang terpapar di pelupuk mata juga tak kalah amboi indahnya. Kami singgah di pantai Karang Taraje. Pantai Karang Taraje memesona mata dan membuat enggan berkedip barang sebentar. Pantai dengan kilatan karang hitam dan genangan air laut yang terperangkap di dalamnya memabukkan pandang dalam kepayang. Genangan air laut membentuk vegetasi rumah kepiting kecil dan ikan menari kemayu di dalamnya. Pantai memiliki pasir berupa pecahan kulit kerang yang sangat seru jika dikumpulkan. Kerang-kerang yang masih bagus pun berserakan di sana menunggu untuk dipungut oleh pengunjung anak-anak. Hembusan angin sore sepoi-sepoi membelai kulit, menghilangkan sejenak rasa penat setelah lama duduk di mobil. Foto-foto narsis menjadi ajang yang penting sebagai bukti singgahnya kami di pantai ayu itu. Ombak bergulung seakan tak rela melihat kami pergi karena kami hanya bertahan selama 10 menit untuk menikmatinya. Pantai Sawarna tetap menyuguhkan penasaran bagi kami. Dari pantai Karang Taraje itu, perjalanan menuju pantai Sawarna menyusuri jajaran pantai yang tak kalah indah. Mobil mulai memasuki kawasan hutan yang lebat sebelum mencapai pantai Sawarna. Hutan itu seperti tak berujung. Pohon-pohon tinggi menjulang dan rapat di sisi kiri dan kanan jalan. Kami yang baru kesana kali pertama penasaran di mana pantai itu bersembunyi di dalam hutan karena kami tidak melihat sebuah tanda pun di depan terdapat pantai. Jalanan hutan berkelok-kelok naik turun seirama dengan iram jantung kami yang deg-degan karena takut kemalaman di hutan. Secercah cahaya terlihat dan membuncahkan senyum harapan pantai tlah dekat. Kami melewati sebuah penginapan dan cottage yang berseberangan dengan kebun kelapa yang berjajar teratur. Selepas itu, kami memasuki sebuah perkampungan kecil sekaligus tempat untuk memarkirkan mobil. Mobil diparkir di pinggir jalan menuju desa Sawarna. Pengelola parkir adalah pemuda yang tinggal di sekitar desa itu. Kami harus antri melewati jembatan kayu namun beruas besi. Jembatan ini terlihat sangat kuat dan sepeda motor pun mampu berjalan melaluinya. Kami menyeberangi jembatan yang berderit dan bergoyang saat dilewati. Sungai yang berada di bawahnya tidak terlihat menyeramkan tapi berisiko pula jika kami sampai jatuh. Desa Sawarna dijaga oleh hansip yang memungut uang masuk lima ribu per orang. Belakangan kami tahu jika uang itu tidak dinikmati penduduk setempat tetapi hanya dinikmati oleh pemilik rumah sewaan yang banyak berdiri di sana. Kami menyusuri kampung yang berisi puluhan homestay yang menyajikan akomodasi bagi backpacker. Biaya tinggal di homestay murah karena bisa disewa dalam kelompok-kelompok besar. Sekamar bisa diisi 4 orang dan mendapatkan jatah makan pagi-siang-malam. “Tolong, teman kami hilang. Dia terseret arus.” Beberapa pemuda berteriak saat kami datang. Suasana yang tenang langsung berubah jadi ramai karena kepanikan beberapa penghuni homestay yang memberi kabar pada temannya yang tidak ikut pergi ke pantai. Penduduk setempat ada yang bertindak sebagai penyelamat dadakan. Kami tidak menyaksikan proses penyelamatan karena jarak homestay dengan pantai Sawarna masih jauh, sekitar 2 km. Kami melewati hamparan sawah sebelum sampai di pantai yang berpasir putih keabu-abuan. Pantas saja sampai ada yang terseret arus. Ombak-ombak ganas bergulung-gulung dengan sombongnya. Dalam kondisi seperti ini tetap aja ada yang berenang, sungguh bahaya sekali, pikirku dalam hati. Pantai ini memang indah. Sungguh. Seperti berada di benua lain. Kami beristirahat di warung-warung dekat pantai. Memandang ombak yang ganas itu. Aku mendekat ke tepi pantai. Kondisi saat itu memang tak bersahabat. Panas terik. Terik dan silau. Aku hanya ingin mencapai bibir pantai untuk memandang lautan lepas. Mas Pian, sopir kantor berusaha memotret cewek-cewek yang berbaju seksi dan berparas cantik. “Untuk oleh-oleh teman di kantor.” Katanya sambil berpura-pura membidikkan kamera ke laut padahal objeknya adalah cewek-cewek cantik yang berlari-larian di pantai. Kami saksikan pemuda berbadan gemuk yang sempat terseret arus diberi bantuan pernapasan oleh penduduk yang bertindak sebagai penjaga pantai. Untung selamat. Paling tidak kami tidak menyaksikan hal buruk di hari yang indah itu. Kami menuju warung di pinggir pantai untuk membeli makan siang. Seekor ikan yang berukuran besar harganya hanya Rp15.000,00 ditambah nasi yang bisa langsung diambil dari penghangat nasi, sambal kecap dan irisan cabai yang mantap, serta minuman teh hangat. Piring seketika ludes seperti harta yang diserbu penyamun. Ikan terasa segar dan tidak berbau saat dipanggang dan menimbulkan aroma yang khas. Kuliner kali ini sangat tepat untuk mengakhiri hari. Menjelang maghrib, kami harus segera meninggalkan pantai untuk bersiap pulang ke Serang. Perjalanan ke Sawarna kali itu tidak akan kulupakan. Perjalanan selama 6 jam masih menunggu untuk dilalui. Dalam waktu kurang dari 6 bulan kemudian, saya datang ke Sawarna lagi dengan teman yang lain. Banyak keajaiban alam di sana yang belum sempat dijelajahi dalam waktu sesempit itu. Waktu kali kedua ke sana, saya pergi bersama teman kantor yang belum sempat ke sana sehingga rasa penasaran dengan ceritaku saat kali pertama datang ke pantai itu. Yang berangkat kali ini adalah aku, mbak Nita, pak Sehab, Syarif, dan mas Pian. Pada kunjungan yang kedua ini, kami sempat menjelajahi pantai Tanjung Layar yang letaknya tidak jauh dari bibir pantai pada saat kali pertama sampai di sana. Waktu berkunjung juga lebih lama sehingga leluasa berlama-lama bermain air dan menikmati keindahan suasana pantai. Kondisi cuaca mendung dan tidak terlalu panas. Sangat sempurna hari itu untuk berpetualang. Kami menyusuri bibir pantai hingga mencapai pantai yang berbibir karang. Saking asyiknya main air di pantai, aku berjalan dengan kaki berat dan terseret-seret. Tanpa sadar, sandalku yang sebelah hilang. Oh, tidak. Bukan apa-apa. Pasirnya terasa panas di kaki dan sebentar lagi aku akan melewati pantai berkarang. Kalau tanpa alas kaki pasti sakit. Saya menyusuri pantai hingga 4 kali untuk mencari sandal yang hilang. Sial, walaupun mondar-mandir di tempat yang kulalui tetap saja sandal itu gak ketemu. Selain capek karena kaki terbenam pasir. Panas banget masbrow. Aku menyerah dan memutuskan untuk berganti baju. Setelah mandi dan membersihkan diri. Saya minta tolong penjaga kamar mandi untuk membelikan sandal jepit murah. Teman-temanku yang sudah berangkat duluan menuju pantai Tanjung Layar khawatir karena aku tak kunjung muncul. Mereka menungguku di tepi pantai berkarang yang masih jauh. Dengan berbekal pakaian basah dan kondisi kaki yang sudah separuh nyawa aku memutuskan untuk menyusul teman-teman. Sesampainya di tempat teman, mereka menanyaiku, “Kenapa lama?” dan aku ceritakan peristiwa hilangnya sandal kesayanganku itu. Kami masih harus menyusuri jalan setapak lagi yang lumayan jauh juga untuk mencapai pantai Tanjung Layar yang masih dalam kawasan pantai Sawarna. Yang unik adalah, banyak penjual baju yang menjual baju pantai bertuliskan Pelabuhan Ratu. Semua tahu kalau lokasi Pelabuhan Ratu tidak jauh dari situ. Menguntungkan juga karena aku tak perlu membelikan oleh-oleh untuk ponakanku karena harganya mahal. Biasanya aku membeli kaos untuk oleh-oleh yang bertuliskan nama tempat wisata dengan harga Rp 20.000,00 – Rp35.000,00 per buah tapi saat itu penjual menawarkan dengan harga Rp45.000,00 per buah dan anehnya tidak bisa dan tidak mau ditawar. Hiks hiks, mahal amat. Saat kita berjalan kaki menuju ke pantai Tanjung Layar, mataku langsung terbelalak melihat “pemandangan indah” di depan mata. Ada dua cowok bule bertelanjang dada dengan perut six pack menuju ke arahku berjalan dan aku hanya bilang ke dua temanku yang sudah berjalan ke depan, “Lihat, Wow” Aku terkesima. “Hi, Halo.” Dua turis itu menyapa kita dengan rmah sambil membawa kamera perekam sambil berlalu dan tetap merekam kami dengan kameranya. “Dasar, nyadar hey.. ntar kesambet.” Seloroh temanku, mbak Nita yang jago bahasa Inggris. “Kalo kamu mau kupanggilin mereka. Mau?” Tawar mbak Nita kepadaku. “Ah enggak. Cuma terpukau aja lihat perutnya. Hehehe.” Jawabku sambil mempercepat langkah. Eh, itu pantai Tanjung Layarnya sudah kelihatan. “Teriak Syarif. Batu besar itu berdiri tegak kokoh. Kokoh menjulang hingga batas cakrawala. Subhanallah, Siapa yang menancapkan batu itu di sana. Wisatawan berkumpul di pantai karang tempat batu itu menancap. Banyak anak usia sekolah berwisata pada saat itu karena hari libur semester. Ada yang datang dari Sukabumi, Bandung, Pandeglang, dan Jakarta. Aku mengagumi dari jauh dan duduk menikmati semilir angin. Sebenarnya karena dua alasan, pertama, kakiku capek gara-gara insiden sandal hilang. Yang kedua, aku gak mau jadi tukang foto bapak-bapak narsis, Syarif dan Sehab yang sedari tadi sudah bergaya bak foto model di bawah batu raksasa itu. Dasar dua orang itu tidak melewatkan momen untuk berfoto di antara lekukan batuan. Aku hanya tersenyum simpul melihat tingkah mereka. Samudera luas seakan tak bertepi. Angin membelai lembut wajahku, menenteramkan hati. Sambil memandang lautan biru, pantai ini pastinya bisa mendatangkan devisa yang tidak sedikit. Tidak kalah indahnya dengan Bali. Seandainya dikelola dengan lebih baik, harapku. Setelah puas berfoto dan menikmati pemandangan. Kami kembali ke desa Sawarna dengan naik ojeg dengan membayar Rp 10.000,00 per orang. Tukang ojek itu sudah sangat lihai berkendara di atas tanah berpasir dan yang lebih mendebarkan lagi, ketika kami harus menyeberangi jembatan Rawayan yang terbuat dari bambu dan jika melewati itu sensasi bergoyang-goyang seakan-akan jembatan itu akan runtuh. Kami bersyukur bisa melewati jembatan itu meskipun jantung berdegup kencang.kami tertawa-tawa setelah turun dari ojek. Merasa telah lepas dari maut sambil bersumpah tidak akan lagi naik jembatan goyang dengan dibonceng ojek koboi lagi. Ampuun..masih sayang nyawa cuma satu. Dari cerita yang kami dapatkan dati tukang ojeg, mereka bertutur jika penghasilan masuk Sawarna hanya dinikmati oleh segelintir orang yaitu pemilik penginapan dan cottage yang ada di sana. Tidak ada sepeser pun uang yang digunakan untuk kesejahteraan penduduk.sekitar desa. Sungguh miris. Selepas menikmati pantai Sawarna, kami kembali ke penginapan di cottage pantai Bagedur. Pantai Bagedur juga tak kalah indah dan serunya. Anak teman sekantorku dan ayahnya membawa pancing untuk mencari ikan-ikan kecil di pantai. Bukan memancing yang serius. Pagi-pagi kami berjalan-jalan di tepi pantai. Kebetulan letak cottage tidak jauh dari pantai. Ada Ais, Hani, Faawaz, dan Dzihni, anak-anak lucu teman sekantorku yang selalu kangen dengan pantai. Bermain air pantai, berenang dan berlarian dikejar ombak serta menunggu hasil pancingan ayah sementara para wanita memilih untuk tidak berbasah-basahan. Pantai Bagedur, namanya diambil karena suara ombaknya yang terdengar seperti tembakan meriam. Di halaman cottage juga terdapat meriam Aki dan Nini Bagedur. Suara ombak yang nyaring dan bergemuruh terdengar hingga cottage kami. Sejarah pantai bagedur pada masa silam berkaitan dengan penjagaan wilayah Indonesia bagian selatan. Menurut bapak Yadi Ahyadi, pakar Bantenologi, dulu kawasan Pelabuhan Ratu adalah markas VOC di kawasan Banten. Daerah tepian pantai harus memiliki persenjataan lengkap seperti meriam untuk menghadapi serbuan asing. Daerah pantai selatan dari Bagedur hingga Sawarna pada masa lalu penuh dengan penjagaan tentara-tentara Belanda agar tidak diserang tentara Inggris dari kepulauan Kolombo yang terletak dekat dengan Australia. Tidak jauh dari pantai Bagedur terdapat sebuah tempat pelelangan ikan yang bernama Muara Binangeun. Tempat ini beberapa tahun terakhir ini terkenal sebagai tempat memancing bagi penghobi. Aku pernah kesana untuk membunuh rasa ingin tahu. Pasar pelelangan ikan disini juga menjual ikan-ikan berukuran raksasa. Berbagai macam ukuran ikan tuna sirip kuning dengan berat di atas 1 kuintal. Ada pula ikan cucut, ikan hiu berukuran besar yang terpancing di jala-jala nelayan. Kami menyaksikan pasar sibuk di pagi hari saat nelayan baru menaikkan ikan ke darat. Kami melihat ada sekumpulan nelayan yang membagi rata hasil tangkapan dan melelang beberapa ikan yang disimpan dalam wadah berisi balok-balok es. Banyak pula ibu-ibu yang memilih ikan segar untuk dijual lagi di kampung. Aku memperhatikan aktivitas nelayan yang menurunkan ikan-ikan raksasa dari peti es mereka. Ikan raksasa itu diangkat bersama-sama oleh nelayan yang berbadan kekar. Dalam 1 kapal mereka bisa mengangkut 10 ikan tuna berukuran raksasa.Woow,tenggorokanku tercekat membayangkan ikan sebesar itu bisa dimakan orang se-kecamatan. Aku paling suka dengan cumi-cumi, saat melihat penjual cumi-cumi yang menjual berbagai jenis cumi-cumi dari yang berukuran kecil hingga besar. Sayang, aku tidak langsung pulang ke rumah jadi kubatalkan niatku untuk membeli cumi-cumi daripada busuk di perjalanan. Muara Binangeun juga memiliki pantai. Pantai dilalui sebelum masuk pelelangan ikan. Di kawasan pantai itu banyak pohon nyiur dan karang-karang indah. Sayang, pantainya kurang terawat sehingga tidak terlalu diminati wisatawan. Di pantai ini keistimewaannya, ada vegetasi tumbuhan bakau sehingga kawasan pinggir pantai tidak tergerus air laut. Nyiur di pantai ditata rapi dengan jarak teratur. Seketikaku langsung berteriak, menyuarakan kebebasan dan kesenangan di batin. Sekembalinya dari wisata atau kunjungan singkat di pantai-pantai elok Banten Selatan, kami merasa lebih mengenal Indonesia sebagai negara kepulauan dan terdengar lembut di telingaku lagu Rayuan Pulau Kelapa. Entah siapa yang memutarnya di hatiku sebagai soundtrack yang mengalun rendah dari tadi. Tersenyum aku sambil menikmati perjalanan pulang yang masih 6 hingga 7 jam lagi perjalanan darat. *Tulisan ini aku ikutkan kompetisi Tulis Nusantara 2013 namun kalah...ya lumayan buat isi blog

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Belajar Investasi di Masa Pandemi

Sejak pandemi yang mengharuskan jutaan penduduk Indonesia untu berada di rumah, saya mulai melirik berbagai jenis investas id media sosial. Ponsel jelas menjadi pegangan saat bangun tidur, suntuk, dan mencari hiburan K-Pop. Di lini masa Ig. Ada beberapa promosi tentang investasi. Awalnya, tahun 2019, dua tahun lalu saya sudah sering mencari informasi mengenai saham, reksadana, dan beberapa instrument investasi. Tapi, hanya untuk dibaca dan direnungkan. Hingga, aku merasa jika investasi hanya untuk direnungkan, tidak akan ada hasilnya. Harus ada kemajuan. Bukan hanya membaca, membacam dan membaca artikel keuangan dan investasi tersebut. Aku membutuhkan aksi dan reaksi. Sampailah pad saat yang berbahagia……..belum, ini masih awal. Yang pertama kali kulakukan. Mempertimbangkan dengan masak-masak pilihan berinvestasi dan yang paling utama adalah belajr untuk menyisihkan uang per bulannya. Ini PR yang luar biasa berat karena mindset jelas harus berubah. Mindset untuk living for paycheck t

Koleksi Foto Petualangan Tahun 2013

Foto ini diambil di pinggir kolam renang di hotel Bintang Senggigi, Lombok saat Jambore Sastra 2013. Pada saat ini, aku memang sedang narsis maksimal. Bersama anak SMK YP 17 Cilegon, Vera Sartika yang sering disangka Fatin Shidqia LUbis. Pengalaman kami disana sangat seru. Banyak cerita lucu dan asik. Si Vera Sartika, seorang siswa yang pandai bermonologberjudul 'Dampu Awang". Versi Malin Kundan Provinsi banten. Banyak yang berfoto dengan dia, mirip fatin ya...

#SuamiIstriMasak Kolaborasi Padukan Budaya

Saya berasal dari Jawa Timur sedangkan suami berasal dari Serang, Banten. Bagi kami, setiap hari memasak adalah sebuah media pertukaran budaya. Berawal dengan adaptasi terhadap bahan memasak yang berbeda. Misalnya, keluwek untuk memasak rawon yang susah ditemui di pasar Rau, Serang sehingga saya susah membuat rawon yang enak. Suami beradaptasi dengan cita rasa asin dan pedas khas Jawa Timur. Saya beradaptasi dengan kulit melinjo tangkil . Dalam pengetahuan saya sebelumnya, kulit melinjo di Jawa Timur selalu dibuang. Di serang, kulit melinjo diolah sebagai masakan rumahan. Selain itu, Jengkol juga makanan yang baru saya ketahui setelah pindah ke Serang. Di Jawa Timur, makanan terbuat dari bahan jengkol sangat jarang dan pohonnya pun tidak banyak. Pernikahan itu sendiri adalah proses saling beradaptasi terutama di bidang masakan dan bagaimana budaya menyatu di atas piring. Oleh karena itu, kolaborasi memasak dengan suami sangat penting. Kolaborasi memasak selain menghasilkan keru